SETELAH menunaikan ibadah shaum Ramadhan selama satu bulan
kurang lebih, kaum Muslimin sudah ditunggu oleh pahala lain yang tak
kalah besarnya. Ya, shaum sunnah di bulan Syawwal.
Terkait hal ini, Syeikh Muhammad Mukhtar Asy-Syinqithi—hafizhohulloh—mengatakan:
“Lebih Afdholnya hendaknya seseorang menjadikan hari-hari iednya untuk kebahagiaan dan kesenangan (dengan tidak berpuasa).
“Oleh
karena itu, telah valid dalam sebuah hadits yang shohih dari Nabi
-shollallohu alaihi wasallam- bahwa beliau mengatakan untuk hari-hari
(tasyriq) di Mina: ‘itu adalah hari-hari makan dan minum… maka janganlah
kalian berpuasa di dalamnya”.
“Apabila hari-hari Mina yang tiga, karena dekat dengan hari Idul Adha
mengambil hukum ini, tentunya hari-hari Idul Fitri tidak jauh
keadaannya dari hukum ini…
“Oleh karena itulah, kamu dapati orang-orang akan
menjadi ‘tidak enak’ apabila mereka diziarahi oleh seseorang di hari
raya, lalu dia menolak hidangan yang disuguhkan dan mengatakan ‘aku
sedang berpuasa’, sebaliknya mereka senang bila hidangan itu dinikmati
tamunya.
“Dan telah datang keterangan dari Nabi -alaihis sholatu wassalam-
bahwa ketika beliau diundang oleh seorang sahabatnya dari kalangan
Anshor untuk menikmati hidangan bersama sebagian sahabatnya, lalu ada
sahabatnya yang menjauh dan mengatakan: ‘sungguh aku sedang berpuasa
(sunnah)’.
Maka Nabi -shollallohu alaihi wasallam- mengatakan kepadanya:
‘Sungguh saudaramu telah bersusah payah untukmu, jadi batalkan puasamu
dan berpuasalah di hari lainnya’.
“Ketika tamu masuk pada hari-hari ied, terutama hari kedua dan
ketiga, tentu seseorang akan senang dan lega ketika melihat tamunya
menikmati hidangannya. Jadi, keadaan seseorang bersegera untuk berpuasa
pada hari kedua dan ketiga, ini perlu ditinjau lagi.
“Sehingga
lebih afdhol dan lebih sempurna bila seseorang menyenangkan perasaan
orang lain (dengan tidak berpuasa). Bisa jadi di hari kedua dan ketiga
ini ada acara-acara undangan, bisa jadi dia menjadi tamu mereka, dan
mereka senang bila dia ada dan ikut menikmati hidangan mereka.
“Maka perkara-perkara seperti ini; mementingkan silaturrahim dan
membahagiakan kerabat, tidak diragukan lagi di dalamnya terdapat
keutamaan yang lebih afdhol dari amalan (puasa) sunnah.
“Ada sebuah kaidah mengatakan: ‘Jika ada dua keutamaan yang sama
bertabrakan, dan salah satunya bisa dilakukan di waktu lain… maka
hendaknya keutamaan yang bisa dilakukan di waktu lain diakhirkan’.
Bahkan, silaturrahim tidak diragukan lagi termasuk diantara amalan
taqorrob yang paling utama.
“Di sisi lain, syariat telah melapangkan untuk para hambanya dalam
puasa 6 hari Syawwal ini, dia menjadikannya ‘mutlak’ (tidak terikat),
boleh dilakukan di seluruh hari bulan syawwal, maka pada hari apapun
puasa itu dilakukan di bulan syawwal; ia dibolehkan selain pada hari
ied.
“Berdasarkan keterangan ini, maka tidak ada alasan bagi seseorang
untuk mempersulit dirinya dalam bersilaturrahim dan membahagiakan
kerabatnya dan orang yang menziarahinya pada hari ied.
“Oleh karena itu, hendaknya dia mengakhirkan puasa enam hari syawal
ini, sampai setelah hari-hari yang dekat dengan ied, karena orang-orang
membutuhkan hari-hari ied itu untuk menciptakan nuansa bahagia dan
memuliakan tamu, dan tidak diragukan bahwa mementingkan hal itu akan
mendatangkan pahala, yang bisa saja melebihi pahala sebagian amal
ketaatan (puasa)…” []
Sumber: Kitab: Syarah Zadul Mustaqni’, 107/5]. (87).
Sumber : islampos.com
0 Response to "Kenapa Puasa Syawal Sebaiknya Tidak Pada Pekan Pertama ?"
Posting Komentar